Alam Takambang Jadi Puisi

Para ahli sejarah sering merujuk karya sastra sebagai sumber sejarah pada zaman karya tersebut dibuat. Kitab Negarakertagama yang ditulis pada zaman Majapahit merupakan sumber penting pada zaman itu. Banyak puisi karya Taufiq Ismail, Chairil Anwar, Wiji Thukul, dan beberapa penyair lainnya dijadikan saksi keadaan Indonesia saat itu. Tentunya penyair-penyair tersebut mewakili peristiwa di zamannya. Di luar negeri, seorang penulis inggris, Graham Greene, “melihat” India dalam novel-novel dan cerita pendek yang ditulis pengarang India, R.K. Narayan. Di Minangkabau, kaba dijadikan informasi sejarah minangkabau. Dan banyak lagi karya sastra di muka bumi yang menjadi saksi zamanya. Namun, timbul pertanyaan, bagaimana karya sastra sebagai karya fiksi dijadikan sumber fakta? Bukankah sastra sangat berbeda dengan sejarah yang harus menyuguhkan fakta?

Tapi secara tersirat, karya sastra yang baik selalu menyuguhkan fakta, baik fakta psikologis atau fakta-fakta lainnya, karena zaman (dalam arti luas) atau lingkungan (dalam arti sempit) mempengaruhi karya pada saat itu.

Di Minangkabau, masyarakatnya menganut falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” yang artinya, alam akan selalu memberikan contoh, pelajaran, atau petunjuk bagi masyarakat yang hidup saat itu, tentunya bila kita mau mengembangkan alam itu. Tanpa paksaan, segala aktivitas yang dilakukan tumbuh dari sana. Sekarang patut disimak bagaimana para sastrawan mengembangkan alam tersebut dan tentunya dilihat dari karyanya. Dalam hal ini para penyair dari Minangkabau. Penyair Minangkabau tentu penyair yang “tahu” dengan falsafah alamnya. Alam di sini diartikan tak hanya alam secara harfiah tapi segala sesuatu yang terdapat di minangkabau yang telah menjadi budaya di minangkabau itu sendiri, seperti budaya rantau, pola hidup, cerita rakyat, atau kesenian tradisional minangkabau.


Rantau

/…Kudengar petatah petitih nun jauh / muasal siang dan malam / dan bunyi bansi di pematang / adalah ibu di pagi raya…/ (Ibu di pagi Raya, Delvi Yandra)

/ bundo kanduang melipat hari / sedih sendiri di sudut negri / (Epilog Ranah, C.H. Yurma)

/ Dengan sebutir kampung halaman / kutanam di dalam dompet / kutunggangi peta usang / yang terhampar di tanah lapang… / (Ziarah Laut, Indrian Koto)

Tiga sajak dari penyair muda minang ini agaknya dapat mewakili perasaan anak mudo minang ketika tiba masanya menjadi perantau. Harapan di rantau dan kerinduan akan kampung halaman berbaur menjadi satu. Barangkali karena masih berjiwa perantau, sajak-sajak tentang itu dekat dengan mereka. Dalam sajak Delvi Yandra, Ibu di Pagi Raya, penyair mencoba melukiskan betapa kedekatan seorang anak dengan ibunya terbawa sampai kapanpun, sehingga di rantau kerinduan itu ia gambarkan dengan petatah petitih, bunyi bansi yang terekam dalam ingatannya. Tapi C.H. Yurma tak berbicara soal perasaan perantau. Dalam sajaknya, Epilog Ranah, digambarkannya Bundo Kanduang sebagai orang yang ditinggalkan Perantau, pada akhirnya setiap hari menunggu kedatangan Si Perantau dengan perasaan harap-harap cemas.
Di sisi lain, bila dilihat dalam karya sastra minang, ada pantun tua yang menjadi pedoman untuk perantau: / waang pai ka pakan, / Iyu bali, balanak bali, / Ikan panjang bali dulu, / Kok waang pai bajalan, / Induak cari dunsanak cari, / Induak samang cari dulu. /
(Kalau engkau pergi ke pekan, Hiu beli, belanak beli, Ikan panjang beli dahulu, Kalau engkau pergi berjalan, Ibu cari, saudara cari, Induk semang cari dahulu.) Pantun ini mengajarkan rantau sebagai tempat mencari kerja, bukan untuk kembali pulang. Hal ini ada kaitan interteks dengan sajak Indrian koto, Ziarah Laut, Si aku-lirik mencoba “mematuhi” maksud pantun tua itu walaupun rantau adalah peta usang yang terhampar di tanah lapang.

Kesenian Tradisional

Lalu, bagaimana pula penyair minang menerjemahkan kesenian tradisional dalam puisi-puisinya? Pertanyaan itu dijawab oleh puisi Iyut Fitra. Salah satu sajaknya yang berjudul Palayaran (judul lagu dalam kesenian saluang) mengambarkan kesenian tradisional saluang. Seperti dalam kutipan sajak itu: /… di lapik itu ia terdampar / barangkali tak sebagai nakhoda hilang jangkar / tak pula seorang pengembara yang sasar / “inilah pagurauan!”…/ /… tempat rang pagurau pulang menjelang subuh di ujung jalu-jalu dipuhunkan…/ Dan tak hanya rang pagurau (para pecandu dan penikmat saluang), lapiak gurau (alas tempat saluang diselenggarakan) sampai pantun dalam kesenian saluang pun ada dalam puisi itu. Ketika membaca puisi ini, kita dapat menonton sekaligus mendengar pertunjukan saluang tanpa harus datang ke tempat saluang itu diselenggarakan.

Pola Hidup

Penyair Adri Sandra (Padangjapang) memiliki pandangan lain dalam melihat minangkabau, Ia tak berbicara tentang kesenian tradisional atau hal-hal yang berhubungan dengan keindahan Minangkabau, tapi ia merasakan kekecewaan yang besar terhadap pola hidup dan perilaku orang minang yang tidak lagi bertindak sesuai dengan falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.” Menurutnya pengaruh budaya barat serta ketidakmampuan orang minang itu sendiri dalam membentengi diri telah membuat situasi yang menyedihkan. Hal itu dapat dilihat dalam sajaknya yang ditulis tahun 2002, Hollywood Kabau. Di sana dikatakan bahwa: /…telah dibuangnya sirih dan tembakau dalam aroma ganja, shabu- / shabu / dan putaw / telah dibuangnya air tawar yang muncrat dari dasar bumi digantikan / harum whisky dan brandy…/ dan di akhir sajak itu ia menulis: /…inilah Hollywood kabau yang dulu Minang / lonceng-lonceng itu kian berdentang / dalam tari-tarian garang./ Dengan pemakaian kata ‘sirih,’ sajak ini seakan menyindir para ‘pangunyah siriah’ (baca: pemimpin minang) yang tak banyak lagi bertindak secara minang. Dalam sajak lain yang berjudul Minang Kabut, Adri Sandra juga menyambung penyampaian kekecewannya tersebut. Bila dalam sajak sebelumnya ia mengatakan bahwa budaya minang dulu kini telah berubah jadi budaya Hollywood (Barat), maka dalam sajak Minang Kabut ia merasa sesal terhadap dampak negative kemajuan teknologi yang mulai merambah segala aspek kehidupan masyarakat: / Sesuatu apakah yang menjelma di tanah beradat ini / genta pedati dan landam kuda telah dimesini…/ dan /…Saluang rabab telah diorgeni / dendang dan gamat telah didangduti…/ Di lain hal, Rusli Marzuki Saria, Penyair gaek ini sepertinya telah meramalkan hal yang dirasakan Adri Sandra itu, Dalam sajaknya Padang Kotaku yang ditulis tahun 1975 , Si aku-lirik mengatakan: /Padang kotaku. Suatu waktu nanti takkan lagi dengar ketipak terompa kuda…/ Tentunya “Padang” yang disebutkan dalam sajak ini kita baca dalam artian Minangkabau. Simbol ‘ketipak terompa kuda’ yang digunakan sangat tepat. Simbol itu memberi gambaran tentang suasana minangkabau yang masih jauh dari westernisasi. Tapi itu dulu!

Cerita Rakyat

Menjadikan cerita rakyat sebagai konsep menulis sebuah puisi merupakan hal yang sangat menantang. Kita ditantang untuk menceritakan cerita rakyat itu dengan “cerita baru”. Jika tidak, kita malah mengulang-ulang cerita lama yang tentunya akan menjadi klise. Gus tf dalam sajaknya, Malin, berhasil menaklukkan tantangan itu. Gus tak lagi menceritakan Malin (Kundang) sebagai anak yang merantau dan dikutuk menjadi batu setelah kembali ke kampung karena durhaka pada ibunya. Sajak itu dikutip, /… Dalam diriku, Malin terbaring di ranjang batu. / /… Suara itu, daging menyeru batu. / Dalam diriku, Malin terkapar di gempur nafsu. / Dalam sajak itu si-aku lirik sepertinya tak peduli dengan Malin (Kundang) dalam cerita yang sebenarnya. Bagi si-aku lirik tersebut Malin (Kundang) tak menjadi batu, tapi hanya terbaring di ranjang batu, dan cuma terkapar di gempur nafsu. Sajak ini membuat kita penasaran mengapa Malin (Kundanng) seperti dalam pikiran si-aku lirik tersebut. Mungkin saja si-aku lirik yang durhaka pada (cerita) Malin (Kundang) tersebut.
***
“Alam Takambang Jadi Puisi” setidaknya memberi gambaran bagaimana beberapa penyair minangkabau mencoba mengembangkan alam dan tak hanya menjadikannya guru tapi juga puisi. Kita tak perlu berharap apakah puisi-puisi tersebut akan menjadi sumber sejarah bagi ranah minang nantinya, karena ketika menulis puisi kita memang tak perlu membawa misi apapun, selain misi sastra. Dan biarlah alam yang menentukan nasib puisi-puisi tersebut. Apakah akan menjadi guru atau barangkali tak menjadi apapun!***