Munculnya istilah baru dalam bahasa, salah satunya disebabkan oleh tidak berfungsinya kata-kata lama bagi si penutur bahasa tersebut dalam menyampaikan maksudnya. Tapi hal ini tak bisa dipercaya sepenuhnya, beberapa alasan di antaranya: pertama, kehadiran peribahasa sebagai salah satu alat komunikasi masih tetap relevan sampai sekarang, bahkan peribahasa mampu mengalahkan kalimat-kalimat populer yang tengah berkembang di masyarakat.
Kedua, kondisi sosial suatu masyarakat dapat menambah kekuatan kata-kata ketika diucapkan. Terlepas dari dua penyebab tadi, sampai hari ini kita masih mendengar adanya istilah baru untuk menyampaikan sesuatu pada beberapa kelompok yang memakainya. Di kalangan anak muda ada istilah baru: lebai. Pertama kali mendengar kata ini, saya teringat sebuah cerita tentang seorang Pak Tua yang akan menghadiri dua pesta pada waktu yang sama, tapi Pak Tua itu ragu akan menghadiri pesta yang mana karena kedua pesta tersebut sama-sama menarik dan menghidangkan masakan yang sama-sama lezat. Pak Tua itu pun menghitung kancing bajunya untuk memutuskan pergi ke pesta yang mana. Tapi sayang, kedua pesta tersebut telah habis ketika Pak Tua itu masih menghitung kancing bajunya. Cerita itu berjudul: Lebai yang Malang. Bila kata lebai yang digunakan dalam percakapan para anak muda sekarang berasal dari cerita ini, tentu kata tersebut bermakna kurang lebih tentang seseorang yang ragu, malang, bodoh, sial, dan segala yang berhubungan dengan karakter Lebai dalam cerita tersebut. Untuk alasan ini saya teringat tulisan Eep Saefulloh Fatah, ia mengusulkan untuk menjadikan nama almarhum W.S Rendra sebagai kosakata baru dalam bahasa Indonesia. Katanya, sebagai kata sifat, ”rendra” bisa bermakna sebagai seseorang atau sekelompok orang yang punya keyakinan teguh akan kebenaran yang ia atau mereka perjuangkan serta pandai menjaganya lantaran menolak menjadi pecundang. Tak hanya Rendra, nama almarhum Munir juga diusulkan Eep untuk menambah kosakata bahasa Indonesia, Menurutnya, kata ”munir” dapat dimaknai sebagai ”seseorang atau sekelompok orang yang tak punya rasa takut karena yakin berada di jalan yang benar”. Manakala diberi imbuhan tertentu, ”munir” menjadi kata kerja (memunir, dimunirkan, dimuniri, atau memunirkan) dengan pemaknaan sama (Majalah Tempo edisi 32/XXXVIII 28 September 2009). Contoh dari tulisan dari Eep tersebut sekiranya bisa menggambarkan bahwa ”pemberian makna” sebuah kata baru tidak jauh berbeda dengan asal kata tersebut. Tapi berdasarkan apa yang saya dengar, kata lebai yang sering diucapkan tersebut menyatakan sesuatu yang terlalu berlebihan (over) bahkan lebih dari itu. Saya tidak tahu darimana makna dari kata lebai tersebut muncul. Bila dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, lebai berarti: pegawai masjid di dusun, makna kata lebai dalam kamus tersebut senada dengan apa yang tertulis dalam Hikayat Abdullah yang ditulis tahun 1849 oleh Abdullah bin Abdul Khadir Munsyi (Seorang pemerhati bahasa melayu di Abad 19) dan hikayat ini dicetak di Belanda tahun 1953, dalam Hikayat tersebut, lebai digunakan untuk memanggil chatib. Dalam kamus itu juga ada keterangan tambahan untuk kata lebai malang, yang berarti orang yang selalu bernasip sial. Dari beberapa contoh tersebut tentu saja semakin memberi jarak antara kata lebai yang digunakan anak muda tersebut dan makna yang sebenarnya. Tapi, perubahan makna sebuah kata yang dipakai dalam masyarakat bisa saja terjadi dengan cepat atau lambat dan yang menjadi masalah dalam hal ini adalah mengapa makna kata tersebut bisa berubah menjadi sesuatu yang berlebih-lebihan, tidak ada sesuatu kejadian (penyebab) yang bisa diterima untuk mengamini perubahan tersebut. Untuk hal ini saya selalu bertanya pada orang-orang yang sering saya dengar mengucapkan kata lebai tersebut dan rata-rata mereka menjawab: entahlah—tidak penting dijawab. Tiba-tiba saya teringat sebuah lagu pop yang dinyanyikan oleh T2. Lagu tersebut berjudul ”Jangan Lebai.” Saya kutip lirik lagu itu seutuhnya: di handphoneku penuh oleh pesanmu, di setiap detik dan setiap waktu, katamu kuharus begini kuharus begitu, tak boleh ke sana tak boleh ke situ, aku bisa gila, masa bodoh aku tak peduli, ku tak sanggup, aku pergi. Plis deh jangan lebai, jangan paksa aku tuk begitu begini. Plis deh jangan lebai, kau pikir aku ini siapamu. Plis deh jangan lebai, aku jenuh dengan sikapmu itu, aku bosan dengan aturanmu itu.
Berdasarkan lirik lagu tersebut, saya buat pengandaian, saya beranggapan tidak tahu makna kata lebai itu sebelumnya. Lirik lagu tersebut menggambarkan perasaan aku—lirik yang merasa muak, kebosanan yang teramat sangat karena ulah kamu—lirik yang terlalu berlebihan (katamu kuharus begini kuharus begitu, tak boleh ke sana tak boleh ke situ). Konflik yang terjadi dalam lagu itu diiringi oleh ucapan plis deh jangan lebai. Saya pikir inilah kata kuncinya, lebai yang diucapkan aku—lirik tersebut digunakan untuk menggambarkan sikap kamu—lirik (yang berlebihan) tersebut. Menurut saya, hal inilah yang menyebabkan lebai langsung diartikan sesuatu yang berlebihan, keterlaluan, atau apapun yang menyatakan sesuatu yang terjadi melebihi batas kewajaran. Bila hal ini benar, sayang sekali rasanya bila pemaknaan kata lebai dalam lirik lagu T2 tersebut begitu dangkal. Saya juga curiga apakah pengandaian saya tersebut memang terjadi pada anak-anak muda atau barangkali penulis lirik lagu tersebut yang tidak tahu (?). Dalam hal ini, musik populer menjadi salah satu media untuk mempopulerkan sebuah kata. Syukur bila kata yang dipopulerkan tersebut hanya karena kurang populer, artinya tak ada masalah dengan kesalahan makna. Bagaimana bila yang terjadi justru seperti ”kasus” kata lebai ini. Tentu saja hal ini...
Ah, saya tak ingin melanjutan tulisan ini. Biarlah berlanjut dengan sendirinya, karena sampai di sini saja telah ada beberapa kemungkinan yang terjadi: pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia belum menambahkan kata lebai dengan makna yang baru, kedua, saya terlalu kuper, sehingga tidak tahu perkembangan bahasa, ketiga, sebagian besar generasi muda tidak kritis dalam berbahasa. Entah mengapa saya setuju dengan hal yang terakhir, tapi semoga saja (semua) itu tidak benar. Amin. Amin. Amin.
Berdasarkan lirik lagu tersebut, saya buat pengandaian, saya beranggapan tidak tahu makna kata lebai itu sebelumnya. Lirik lagu tersebut menggambarkan perasaan aku—lirik yang merasa muak, kebosanan yang teramat sangat karena ulah kamu—lirik yang terlalu berlebihan (katamu kuharus begini kuharus begitu, tak boleh ke sana tak boleh ke situ). Konflik yang terjadi dalam lagu itu diiringi oleh ucapan plis deh jangan lebai. Saya pikir inilah kata kuncinya, lebai yang diucapkan aku—lirik tersebut digunakan untuk menggambarkan sikap kamu—lirik (yang berlebihan) tersebut. Menurut saya, hal inilah yang menyebabkan lebai langsung diartikan sesuatu yang berlebihan, keterlaluan, atau apapun yang menyatakan sesuatu yang terjadi melebihi batas kewajaran. Bila hal ini benar, sayang sekali rasanya bila pemaknaan kata lebai dalam lirik lagu T2 tersebut begitu dangkal. Saya juga curiga apakah pengandaian saya tersebut memang terjadi pada anak-anak muda atau barangkali penulis lirik lagu tersebut yang tidak tahu (?). Dalam hal ini, musik populer menjadi salah satu media untuk mempopulerkan sebuah kata. Syukur bila kata yang dipopulerkan tersebut hanya karena kurang populer, artinya tak ada masalah dengan kesalahan makna. Bagaimana bila yang terjadi justru seperti ”kasus” kata lebai ini. Tentu saja hal ini...
Ah, saya tak ingin melanjutan tulisan ini. Biarlah berlanjut dengan sendirinya, karena sampai di sini saja telah ada beberapa kemungkinan yang terjadi: pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia belum menambahkan kata lebai dengan makna yang baru, kedua, saya terlalu kuper, sehingga tidak tahu perkembangan bahasa, ketiga, sebagian besar generasi muda tidak kritis dalam berbahasa. Entah mengapa saya setuju dengan hal yang terakhir, tapi semoga saja (semua) itu tidak benar. Amin. Amin. Amin.