Puisi dan Promosi Wisata

Barangkali cara terbaik menulis puisi adalah tidak menulis yang lain. Sebab, bila kita juga ingin menulis yang lain seperti pidato atau brosur dalam puisi yang ditulis, sebaiknya pilih salah satu terlebih dahulu: menulis puisi atau menulis yang lain itu. Bila tidak mau, bersiaplah melihat sebuah pidato atau brosur yang disusun seperti bait puisi atau sebaliknya puisi yang sibuk berpidato.

Cukuplah sastra untuk sastra. Saat sekarang ini tidak tepat bila ada yang mengatakan konsep sastra untuk sastra tidak relevan lagi, karena karya sastra yang baik (ingat, yang baik!) selalu membuka diri untuk dimasuki ilmu-ilmu lain, seperti sosial, budaya, psikologi, sejarah, dll. Ini artinya bila sastra memang ditujukan untuk sastra, secara tidak langsung sastra juga untuk bidang yang lain. Menulis karya sastra, dalam hal ini puisi, membutuhkan keikhlasan untuk tidak membuatnya demi tujuan tertentu. Bila ada sebuah tulisan yang disebut puisi sementara isinya tak ubahnya seperti pidato, maka perlu diinggat bahwa karya sastra mempunyai konsep yang berbeda dengan karya lain (non-sastra). Sebagai contoh, bila bidang ilmu sejarah membutuhkan fakta sebagai kekuatan karyanya, sastra juga begitu, tetapi fakta (kebenaran) yang ada dalam sastra selalu tersembunyi atau disembunyikan. Bila dalam pidato, fakta adalah alat untuk memperkuat isi, sastra juga begitu, tetapi fakta (kebenaran) dalam puisi tidak untuk disampaikan secara langsung, tidak dikeluarkan dari mulut si penyair. Biarlah pendengar atau pembaca yang mencari dan menentukan fakta yang terkandung di dalamnya. Puisi yang baik senantiasa menimbulkan interpretasi yang kaya. Bila perbedaan dari kedua contoh yang disebutkan tadi tak lagi ada, lalu apa lagi yang membedakan antara karya sastra dan non-sastra? Apa lagi beda kerja sastrawan dan sejarawan ataupun politikus? Semuanya memang mempunyai tujuan sama: mencerdaskan kehidupan bangsa!

Seorang penyair menulis puisi dengan cara apapun. Bila ada yang bisa menulis setelah meminum puluhan botol bir dan mabuk, itu sah-sah saja. Bila ada yang bisa menulis puisi setelah ada konflik dengan sesesorang, juga tak jadi masalah. Apapun caranya, asalkan puisi yang ia tulis tak menjadi pelampiasan perasaan terhadap cara yang ia gunakan untuk (mendapatkan inspirasi) menulis puisi tersebut. Puisi yang lahir karena proses perenungan-kesabaran dan puisi yang lahir terlalu cepat sangat jelas bedanya.
Seperti yang disebutkan di atas tadi bahwa karya sastra, dalam hal ini puisi yang baik akan menimbulkan interpretasi yang berbeda (kaya), maka hal itu terjadi pada beberapa puisi dari penyair Sumatera Barat yang pernah saya baca puisi-puisinya. Saya yakin, interpretasi yang timbul dari dalam diri saya ketika membaca puisi-puisi tersebut barangkali tak pernah diniatkan begitu oleh penyairnya. Tapi, hal ini tak dapat dipercaya sepenuhnya, karena ada beberapa penyair yang hebat menaklukkan tantangan seperti itu. Pada sejumlah puisi yang pernah saya baca, ada beberapa puisi yang menimbulkan imaji yang membuat tertarik (datang) pada suatu tempat. Bila gambaran yang kita rasakan dalam puisi itu sangat dekat dengan kita, tentu saja sangat mudah mengenalnya. Tapi, bila gambaran itu sangat jauh, barangkali akan menimbulkan kerinduan atau keinginan untuk melihatnya. Bagaimana bila gambaran itu berupa kondisi alam, budaya, dan sosial? Bisakah puisi memberi gambaran tentang indahnya tari piring, panorama alam, atau gambaran tempat-tempat bersejarah? Kalau bisa, apa lagi beda puisi tersebut dengan brosur-brosur pariwisata? Brosur pariwisata adalah salah satu cara untuk menarik minat seseorang ke suatu tempat dan memang itu tujuan utama brosur. Tak ada yang tersembunyi dalam sebuah brosur selain dari keinginan untuk membuat orang tertarik pada apa yang diceritakan di dalamnya. Dalam brosur, bahasa berfungsi sebagai pemberi pengaruh. Bahasa yang digunakan dalam brosur dibuat sebaik dan semenarik mungkin walau terkadang apa yang disebut di dalamnya tak seperti adanya. Brosur yang baik biasanya langsung membuat orang terpengaruh. Lain halnya dengan puisi, puisi yang baik tak sekedar memberi pengaruh tapi juga pencerahan.

Iyut Fitra, Penyair yang tinggal di Payakumbuh. Di sana terdapat beberapa objek wisata (alam, budaya atau kesenian rakyat). Lingkungan adalah unsur ekstrinsik pembentuk karya sastra. Iyut Fitra, dalam kumpulan puisi terbarunya, Dongeng-Dongeng Tua (2009), terdapat beberapa puisi yang menimbulkan gambaran kuat tentang suasana seperti itu, diantaranya: Sirompak Taeh dan Si Bincik. Sirompak Taeh adalah kesenian tradisional di Nagari Taeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, sementara Si Bincik adalah sebuah legenda dari Kota Payakumbuh. Saya kutip puisi Si Bincik: // selepas lebuh lurus / di gerbang kota setelah bukit-bukit / padi-padi menguning / angin berdesauan lembut / dan orang-orang berpantun air jernih / dan ikannya yang jinak / di sanalah payakumbuh / negeri gadis-gadis bercanda di tepian / bujang-bujang bersimbur sepanjang pematang / maka tataplah! / jauh ke lereng ngalau / goa-goa pun terhampar sebagai kisah / si bincik / yang didendangkan di tubuh batu menangis… // Kutipan di atas adalah bait pertama puisi Si Bincik. Pemilihan larik selepas lebuh lurus sebagai pembuka puisi ini langsung memberi gambaran sebagaimana memasuki sebuah tempat, setelah itu disambut larik di gerbang kota setelah bukit-bukit padi-padi menguning angin berdesauan lembut dan orang-orang berpantun air jernih dan ikannya yang jinak. Kita dihadapkan pada suasana yang alami, seakan-akan larik angin yang disebutkan dalam puisi itu menerpa muka kita, bukit-bukit dan padi-padi menguning itu terhampar di dekat kita. Setelah itu dikatakannya tempat itu bernama payakumbuh. Iyut tak mengatakan langsung bahwa di Payakumbuh suasananya masih alami, tetapi larik gadis-gadis bercanda di tepian bujang-bujang bersimbur sepanjang pematang memberi gambaran kuat yang lebih dari sekedar alami: ada geliat lain, kondisi sosial yang damai, tentram, tanpa beban, kondisi yang diidamkan banyak orang. Bait pembuka puisi itu diakhiri oleh larik yang menyatakan Si Bincik berada di sebuah gua di Kota Payakumbuh: tataplah! jauh ke lereng ngalau goa-goa pun terhampar sebagai kisah si bincik yang didendangkan di tubuh batu menangis…Sampai pada bait pertama saja kita mendapatkan “informasi” bahwa selain sawah, bukit, di Payakumbuh juga ada gua-gua tempat Si Bincik berada. Dari Puisi tersebut kita tahu ternyata Si Bincik adalah batu menangis. Mengapa Si Bincik menangis? Jawabannya ada pada bait penutup puisi itu: //…helat yang tak jadi / si bincik berteriak di atas kuda / bersisian bayang dengan kursi pengantin, payung dan pelaminan / tak jauh di antaranya, sang ibu pun membatukan diri / dalam doa / berapa kutuk yang harus diturunkan / sebelum sejarah //. Ternyata Si Bincik tak jadi berhelat. Ada hal yang menarik pada bait puisi ini. Si Bincik yang menjadi batu ternyata diturunkan dari ibunya yang juga menjadi batu. Ibu si Bincik menjadi batu tapi bukan sebagaimana batu yang sebenarnya melainkan membatu dalam doanya sendiri: barangkali doa yang tak henti-henti diucapkan, doa yang membuat Si Bincik dikutuk menjadi batu. Atau barangkali ada sesuatu yang lain? Puisi ini menimbulkan penasaran yang hebat dan juga mengasah kepekaan indra kita dalam merasakan sebuah peristiwa.
Tak hanya Iyut Fitra, Penyair lain yang puisinya tak sekedar brosur adalah Esha Tegar Putra. Ia juga penyair dari Sumatera Barat. Dalam kumpulan puisinya, Pinangan Orang Ladang, (2009), terdapat sebuah puisi yang sangat menarik untuk dibaca, yaitu: Penari Piring. Bila dalam brosur pariwisata, tari piring dikatakan semenarik mungkin, tapi apakah kita dapat merasakan perasaan lain yang dirasakan penari piring ketika menari? Bagaimana penari piring menghayati musik yang mengiringinya? Tentu saja brosur-brosur itu tak sanggup memberikannya kepada kita, karena bahasa dalam brosur hanya sebatas penarik perhatian dan tak sanggup mengasah kepekaan sebagaimana halnya dalam puisi dan puisi itu saya kutip puisi itu seutuhnya: // berulang kali diri membilang bunyi piring diketuk kulit damar / saluang ditiup pula oleh para penghela dendang. di mana rahasia / kejadian lama disurukkan? di salempang induk beras, di kopiah / tuan kopi, atau di saku baju para penggetah burung rimba? / dan masih suara piring diketuk kulit damar, tingkah bertingkah / dendang tanjung sani dinyanyikan. tapi alamat diri tetap hilang / terbuang di panjangnya jalan. jalan yang bertarian dua badan / nan dipisah antara rantau dan kampung. apakah itu / bayangan laut tempat pecahan piring diserakkan? //. Kita bandingkan puisi tersebut dengan kalimat awal sebuah brosur: “Tapi piring adalah sebuah tarian yang dimainkan oleh beberapa penari menggunakan piring. Di jari para penari tersebut dipasang cincin dari kulit damar sehingga menghasilkan bunyi yang menarik ketika bersentuhan dengan piring…” Seperti puisi di atas, kalimat brosur ini bersifat informatif, perbedaannya: informasi yang ada dalam puisi tersebut tidak disampaikan secara verbal melainkan tersembunyi dalam setiap lariknya, seperti larik berulang kali diri membilang bunyi piring diketuk kulit damar. Pada larik ini bisa dirasakan bagaimana ketika Si Penari merasakan dirinya mengetukkan kulit damar ke piring. Kita memang tak tahu seperti apa persisnya perasaan Si Penari. Ada pengalaman pribadi Si Penari berhubungan dengan bunyi itu, hal inilah yang dicoba diungkapkan Esha pada larik: di mana rahasia kejadian lama disurukkan? Larik ini mengisyaratkan bahwa Si Penari tersebut mempunyai sebuah kenangan. Kenangan apa itu? Kenangan itu disebutkan pada larik alamat diri tetap hilang terbuang di panjangnya jalan. jalan yang bertarian dua badan nan dipisah antara rantau dan kampung. Ternyata Si Penari tersebut terpisahkan oleh rantau dan kampung. Barangkali ia menari di Rantau dan bunyi saluang yang ditiup para penghela dendang itu turut mengingatkannya pada kampung. Ternyata, kerinduan adalah persoalan jarak yang pada akhirnya membuat Si Penari ragu apakah jarak itu bayangan laut tempat pecahan piring diserakkan? Larik pecahan piring bisa diartikan sebagai bagian akhir dari sebuah tari piring. Si Penari tampaknya ragu apakah tarian itu sanggup mengantarkannya benar-benar pulang kampung.

Dari puisi-puisi di atas jelaslah letak perbedaannya. Puisi-puisi dan contoh kalimat brosur tersebut mempunyai kesamaan: dapat memberi informasi berupa gambaran tentang sesuatu yang menarik (tapi inilah yang menampakkan perbedaan mereka): puisi sanggup membawa kita ke “dunia lain” tanpa harus melupakan bagaimana penari itu menari dan segenap informasi di dalamnya. Puisi sanggup mengasah indra kita, bagaimana dalam puisi Iyut tadi para gadis bercanda di tepian dan bujang-bujang bersimbur sepanjang pematang di dekat gua serta Si Bincik yang menunggangi kuda, bagaimana kisah Si Bincik didendangkan di tubuh batu menangis. Membuat puisi berdasarkan cerita rakyat dan kesenian tradisional (wisata budaya) membutuhkan kerja yang teliti, karena perangkap verbalisme terbuka di mana-mana. Dalam hali ini puisi Iyut dan Esha di atas lepas dari perangkap itu dan kedua puisi di atas telah memberikan nilai lebih. Terlepas dari diniatkan atau tidak oleh penyairnya membuat puisi seperti ini, tidak tertutup kemungkinan nilai yang muncul dari sebuah puisi akan mempromosikan wisata dengan sendirinya (keindahan untuk keindahan). Bila brosur tak sanggup lagi bekerja seperti apa diharapkan, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Apalagi sekarang brosur-brosur (wisata) telah dibungkam oleh kepentingan lain. Jika Seno Gumira Ajidarma menulis bila jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, maka saya menulis bila brosur (pariwisata) dibungkam, puisi tak sekedar bicara!